Salah satu keasyikan menjadi orang lapangan yaitu dapat berbagi dengan orang lain yahh..minimal mendengar kisah hidup orang lain
Dua hari yang lalu saya melaksanakan tugas di kecamatan,
karena jauhnya kecamatan dari kabupaten membuatku harus memanfaatkan waktu dan
memaksimalkan pekerjaan, rasanya hal itu membuatku menjadi manusia super sibuk
nomor satu di kecamatan kala itu.
Jam pun telah menunjukkan angka empat, sebelum pulang
kusempatkan untuk mampir di rumah seorang mitra berhubung juga ada pekerjaan
yang harus kuselesaikan dengannya.
Tapi saat itu saya hanya bertemu dengan istrinya setelah
berbasa basi sedikit, bercerita ngalur lindur gak jelas tibalah kami pada topik
seputar kehidupan.
Ibu itu bercerita betapa sakitnya hidup yang dia rasakan, sepuluh
tahun yang lalu dia harus berurusan dengan pisau bedah karena adanya tumor
dirahimnya, tak pelak diapun harus merelakan rahimnya diangkat, syukur saat itu
dia telah memiliki 6 orang anak.
Tiga tahun yang lalu juga dia dinyatakan mengidap penyakit
sinusitis yang mengharuskan dia untuk selalu memakai masker saat bekerja dan
dengan pertimbangan yang lain dia juga harus mengurangi aktivitasnya sebagai
petani .
Empat tahun yang lalu suaminya juga didiagnosa mengalami
penyakit asam lambung akut, hal itu sampai membuat suaminya tidak dapat
berjalan selama satu bulan, sampai sekarang juga masih kelihatan wajah pucat
pasinya.
Lima bulan yang lalu dia juga harus merelakan putri
kesayangannya yang pergi untuk selamanya, putri yang paling dibanggakannya,
putri yang menjadi harapannya kelak.
Didalam keputus asaannya, tak
heran jika dia selalu mempertanyakan apa sebenarnya yang salah di dalam
hidupnya.
Di dalam ketidaksadarannya tidak jarang dia terbengong seolah meratapi kehidupannya. Merasa
kebahagiaan seakan berlalu darinya, bahkan sempat terucap pertanyaan “kemanakah
putrinya itu pergi setelah meninggal? Benarkah surga itu ada? Kenapa ketika
saya mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan justru banyak cobaan yang saya
hadapi? Terkadang ingin rasanya saya berlalu dari bumi”
Seketika itu juga empati saya meluap,
ingin rasanya saya menangis. Berusaha sebisa mungkin memberikan penghiburan.
Dengan yakin saya berkata “Tuhan itu ada, Tuhan itu baik, apapun yang terjadi
dalam kehidupan kita tetap yakini yang terbaik dari Tuhan adalah yang kita
terima. Tetaplah bedoa, kuatkan hati, percaya dan yakin buat pertolonganNya,
dan jangan tinggalkan persekutuan dengan Tuhan dan saudara seiman”
“Menurut iman percaya kita jika
putri ibu sudah menerima Yesus sebagai Allah dan juru selamat pasti dia sudah
berada di sorga, duduk bersama Allah Bapa, dan pada akhirnya kita akan menuju
kesana, pada akhirnya kita juga akan berlalu dari dunia ini. Dan sekarang yang
harus kita lakukan adalah mengisi kehidupan dengan menyenangkan hati Tuhan”
itulah hal yang saya katakan.
Dan benar saya merasa damai
setelah mengatakannya, walaupun disisi lain saya merasa sedih dengan diri saya
sendiri yang kerap sekali “cengeng” dan sering lupa untuk mengucapkan syukur
buat kehidupan indah yang diberi Tuhan.
Selalu merasa kekurangan walaupun
berkat yang berlimpah selalu saya terima setiap hari. Kehidupan yang selalu
Tuhan pelihara, Kesehatan yang luar biasa dari Tuhan, keluarga yang lengkap,
pekerjaan yang Tuhan percayakan. Selalu saja merasa rumput tetangga jauh lebih
hijau.
Dan pada akhirnya sayapun berlalu
dari rumah mitra saya dengan membawa pengharapan yang baru dengan belajar (lagi)
mengisi kehidupan dengan menyenangkan hati Tuhan, terutama dalam ucapan syukur walaupun
tidak jarang saya jatuh bangun didalamnya. Dan keinginan untuk lebih memiliki
empati terhadap orang lain, dan terus terang ini adalah tantangan yang luar
biasa didalam sikap “cuek” saya.
Balige,18 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar