Senin, 01 Juli 2013

Wartawan Atau Preman?






Hari ini kantor kami kedatangan banyak masyarakat (sekitar tigapuluhan orang), Maksud kedatangan mereka adalah mempertanyakan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Tunai).  Kamipun dengan legowo melayani setiap pertanyaan mereka  semaksimal mungkin  (Nanti saya akan menjelaskan lebih lagi seputar BLSM dan mengapa masyarakat mendatangi kantor BPS).

Sebenarnya saya ingin bercerita tentang jurnalistik, hal ini dikarenakan diakhir pembicaraan kami dengan masyarakat datang beberapa orang yang mengaku “wartawan”. Yang menurut saya bukanlah seorang jurnalis yang mengerti kode etik seorang jurnalis bahkan terlihat seperti seorang pereman.

Permasalahan yang tadinya telah selesai menjadi keruh dengan kehadiran mereka. “Tidak sopan” itulah kata yang terpikir di kepala saya. Betapa tidak dengan suara yang keras yang menurut saya lebih kepada berteriak dan kesan seperti “nge-mop” berlagak membela masyarakat miskin, bahkan lebih-lebih dari seorang LSM.

Sudah dijelaskan baik-baik tetapi terkesan memojokkan bahkan menurut saya memprovokator. Yang paling tidak bisa saya terima adalah emosi yang meledak-ledak, sambil marah-marah. Padahal setahu saya tugas seorang jurnalis bukanlah seperti itu. 

Bahkan saya sempat diteriakin oleh salah satu dari "wartawan" pada saat mengambil foto untuk dokumentasi, "saya adalah wartawan, ini koran saya" ujarnya dengan emosi sambil melempar koran di atas meja, saya lupa nama korannya karena memang baru pertama kali mendengarnya. Seharusnya saya menjawab so what kalau anda wartawan? jadi saya harus takut gitu? atau karena anda wartawan saya tidak boleh mengambil foto?

Tetapi yang ada saya sempat terbelongo, sangat merasa surprise ada wartawan sekasar itu. (ding dong...ya wajarlah namanya juga "wartawan-wartawanan" pikir saya dan sayapun hanya tersenyum). Waduhh...model yang kayak gini yang bisa merusak citra jurnalistik.

Sebelumnya saya ingin bercerita saya adalah alumni jurusan ilmu komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Dulu semasa kuliah saya sangat mengagumi profesi seorang jurnalistik walaupun akhirnya saya mengambil konsentrasi di Public Relation.

Diawal mempelajari dunia media saya pernah mendengar istilah “wartawan amplop” awalnya saya hanya tertawa ketika mendengarnya dan menganggap sosok “wartawan amplop” itu hanya sebuah gurauan (Dikarenakan kekaguman saya terhadap profesi jurnalistik)

Tetapi ketika saya menjalani Praktek Lapangan di sebuah perusahaan tentunya di bagian PR (Public Relation), saya merasa surpraise ternyata sosok “wartawan amplop” itu memang ada. Dan itulah awal kebencian saya kepada sosok “wartawan” yang sering saya sebut “wartawan tak beradat” yang berhasil mencoreng citra dunia jurnalistik.

Kebencian saya kepada sosok “wartawan tak beradat” ini semakin bertambah ketika saya memasuki dunia kerja, tidak jarang saya menemui orang yang mengaku wartawan tetapi bersikap tidak seperti seorang wartawan yang memahami kode etik jurnalistik. Mereka lebih tepat seperti seorang preman yang berlagak hebat dengan kartu persnya  (pantes saja mereka hanya berkiprah di media lokal dan koran yang tergolong “yellow newspaper”).

Pelajaran yang saya dapat sangat mudah membedakan wartawan yang berasal dari media yang “benar-benar media “ dan wartawan yang berasal dari “media abal-abal”. Kebanyakan wartawan yang berasal dari media abal-abal lebih mirip seperti seorang preman.

Seorang jurnalis seharusnya berlaku layaknya seorang jurnalis yang memiliki kode etik. Berikut Kode etik yang seharusnya dimiliki seorang jurnalis dari Hasil Kongres XXII di Banda Aceh 27-29 Juli 2008 





BAB I

KEPRIBADIAN  DAN  INTEGRITAS
PENAFSIRAN

BAB I

KEPRIBADIAN  DAN  INTEGRITAS
Wartawan harus memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri, serta integritas dalam arti jujur, adil, arif dan terpercaya.
Kepribadian dan integritas wartawan yang ditetapkan di dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik mencerminkan tekad PWI mengembangkan dan memantapkan sosok Wartawan sebagai profesional, penegak kebenaran, nasionalis, konstitusional dan demokratis serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1
Wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,   berjiwa  Pancasila   taat Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen  serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
PENAFSIRAN

Pasal 1

1.    Semua perilaku, ucapan dan karya jurnalistik wartawan harus senantiasa dilandasi, dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta oleh nilai-nilai luhur Pancasila, dan mencerminkan ketaatan pada Konstitusi Negara.

2.    Ciri-ciri wartawan yang kesatria, adalah :

•    Berani membela kebenaran dan keadilan;
•    Berani mempertanggungjawabkan semua tindakannya, termasuk karya jurnalistiknya;
•    Bersikap demokratis
•    Menghormati kebebasan orang lain dengan penuh santun dan tenggang rasa;
•    Dalam menegakkan kebenaran, senantiasa menjunjung tinggi harkat-martabat manusia dengan menghormati orang lain, bersikap demokratis, menunjukkan kesetiakawanan sosial.
3.    Yang dimaksud dengan mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara adalah, wartawan Indonesia sebagai makluk sosial yang bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan, melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara;
4.    Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
5.    Terpercaya adalah orang yang berbudi luhur, adil, arif dan cermat, serta senantiasa mengupayakan karya terbaiknya.
Profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur :
•      Himpunan pengetahuan dasar yang bersifat khusus;
•      Terampil dalam menerapkannya;
•      Tata cara pengujian yang obyektif;
•      Kode Etik serta lembaga pengawasan dan pelaksanaan penaatannya.

Pasal 2
Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis kelamin,  orang cacat, sakit, miskin atau lemah.
PENAFSIRAN

Pasal 2

Wartawan wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolok ukur :

Yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan atau menyiarkan rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat spekulatif.

Mengenai penyiaran berita yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang, wartawan perlu memperhatikan kesepakatan selama ini menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dalam masyarakat. Tegasnya, wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan.
Pasal 3
Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong, bersifat fitnah,  cabul,  sadis, dan  sensasional.
PENAFSIRAN

Pasal 3

1. Yang  dimaksud tidak beriktikad buruk berarti tidak ada niat secara   sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

2.    Yang dimaksud dengan menyesatkan adalah berita yang membingungkan, meresahkan, membohongi, membodohi atau melecehkan kemampuan berpikir khalayak.

3.    Yang dimaksud dengan memutarbalikkan fakta, adalah mengaburkan atau mengacau-balaukan fakta tentang suatu peristiwa dan persoalan, sehingga masyarakat tidak memperoleh gambaran yang lengkap, jelas, pasti dan seutuhnya untuk dapat membuat kesimpulan dan atau menentukan sikap serta langkah yang tepat.
4.    Yang dimaksud dengan bersifat fitnah, adalah membuat kabar atau tuduhan yang tidak berdasarkan fakta atau alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
5.    Yang dimaksud dengan Cabul, adalah melukai perasaan susila dan berselera rendah.
6.    Yang dimaksud dengan sadis, adalah kejam, kekerasan dan mengerikan

7. Yang dimaksud dengan sensasi berlebihan, adalah memberikan gambaran yang melebihi kenyataan sehingga bisa menyesatkan.
Pasal 4
Wartawan tidak menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suar, suara dan gambar), yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.
PENAFSIRAN

Pasal 4

1.    Yang dimaksud dengan imbalan adalah pemberian dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas kepada wartawan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita dalam bentuk tulisan di media cetak, tayangan di layar televisi atau siaran di radio siaran.

Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.

2.  Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media massa harus disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.


BAB II

CARA  PEMBERITAAN
Pasal 5
Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.   Penyiaran karya jurnalistik rekaulang  dilengkapi dengan keterangan,  data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.


PENAFSIRAN

BAB II

CARA  PEMBERITAAN

Pasal 5
1.    Yang dimaksud berita secara berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional.

2.    Mengutamakan kecermatan dari kecepatan, artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan.

3.    Tidak  mencampuradukkan  fakta  dan  opini, artinya  seorang wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita atau fakta.
Apabila suatu berita ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebutkan nama penulisnya.
Pasal 6
Wartawan menghormati dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum.
PENAFSIRAN

Pasal 6

Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama baik serta perasaan susila seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat.
Pasal 7
Wartawan selalu menguji informasi, menerapkan  prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah.

Wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran informasi, dan menerapkan  prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta.

PENAFSIRAN

Pasal 7

Seseorang tidak boleh disebut atau dikesankan bersalah melakukan sesuatu tindak pidana atau pelanggaran hukum lainnya sebelum ada putusan tetap pengadilan.

Prinsip adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu pihak, tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik bagi polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada para saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.

Jujur, mengharuskan wartawan menyajikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak dimanipulasi, tidak diputarbalikkan.
Berimbang, tidak bersifat sepihak, melainkan memberi kesempatan yang sama kepada pihak yang berkepentingan.

Pasal 8
Wartawan  tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
PENAFSIRAN

Pasal 8

Tidak menyebut nama dan identitas korban, artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban perbutan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan umur korban. Kaidah-kaidah ini juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (di bawah 16 tahun).


BAB III

SUMBER  BERITA
Pasal 9
Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigative.
PENAFSIRAN

BAB III

SUMBER  BERITA


Pasal 9

1. Sopan, artinya  wartawan berpenampilan rapi dan bertutur kata yang baik. Juga, tidak menggiring, memaksa secara kasar, menyudutkan, a priori, dan sebagainya, terhadap sumber berita.

2. Terhormat, artinya memperoleh bahan berita dengan cara-cara yang benar, jujur dan ksatria.

3    Mencari dan mengumpulkan bahan berita secara terbuka dan terang-terangan sehingga sumber berita memberi keterangan dengan kesadaran bahwa dia turut bertanggung jawab atas berita tersebut.
(Contoh, tidak menyiarkan berita ‘hasil nguping’).
Menyatakan identitas pada dasarnya perlu untuk penulisan berita peristiwa langsung (straight news), berita ringan (soft news), karangan khas (features), dan berita pendalaman (in-depth reporting).
Untuk berita hasil penyelidikan/pengusutan (investigative reporting), pada saat pengumpulan fakta dan data wartawan boleh tidak menyebut identitasnya. Tetapi, pada saat mencari kepastian (konfirmasi) pada sumber yang berwenang, wartawan perlu menyatakan diri sedang melakukan tugas kewartawanan kepada sumber berita.

Pasal 10
Wartawan dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang tidak akurat dengan disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
PENAFSIRAN

Pasal 10

Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan.

Pelurusan atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan bersangkutan, dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.

Pasal 11
Wartawan harus menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita .
PENAFSIRAN

Pasal 11

1.    Sumber berita merupakan penjamin kebenaran dan ketepatan bahan berita. Karena itu, wartawan perlu memastikan kebenaran berita dengan cara mencari dukungan bukti-bukti kuat (atau otentik) atau memastikan kebenaran dan ketepatannya pada sumber-sumber terkait.

Upaya dan proses pemastian kebenaran dan ketepatan bahan berita adalah wujud iktikad, sikap dan perilaku jujur dan adil setiap wartawan profesional.

2.    Sumber berita dinilai memiliki kewenangan bila memenuhi syarat-syarat:
Kesaksian langsung.
Ketokohan/Keterkenalan
Pengalaman.
Kedudukan/jabatan terkait.
Keahlian.

Pasal 12
Wartawan tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.


PENAFSIRAN

Pasal 12
Mengutip berita, tulisan atau gambar hasil karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya merupakan tindakan plagiat, tercela dan dilarang.
Pasal 13
Wartawan dalam menjalankan profesinya memiliki hak tolak untuk melindungi identitas dan keberadaan narasumber yag tidak ingin diketahui.  Segala tanggung jawab akibat penerapan hak tolak ada pada wartawan yang bersangkutan.


PENAFSIRAN

Pasal 13
1.    Nama atau identitas sumber berita perlu disebut, kecuali atas permintaan sumber berita itu untuk tidak disebut nama atau identitasnya sepanjang menyangkut fakta lapangan (empiris) dan data.

2.    Wartawan mempunyai hak tolak, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan nama dan identitas sumber berita yang dilindunginya.

3.    Terhadap sumber berita yang dilindungi nama dan identitasnya hanya disebutkan “menurut sumber —-“ (tetapi tidak perlu menggunakan kata-kata “menurut sumber yang layak dipercaya”). Dalam hal ini, wartawan bersangkutan bertanggungjawab penuh atas pemuatan atau penyiaran berita tersebut.
Pasal 14
Wartawan menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan “off the record”.


PENAFSIRAN

Pasal 14
1.    Embargo, yaitu permintaan menunda penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan oleh sumber berita, wajib dihormati.
2.    Bahan latar belakang adalah informasi yang tidak dapat disiarkan langsung dengan menyebutkan identitas sumber berita, tetapi dapat digunakan sebagai bahan untuk dikembangkan dengan penyelidikan lebih jauh oleh wartawan bersangkutan, atau dijadikan dasar bagi suatu karangan atau ulasan yang merupakan tanggung jawab wartawan bersangkutan sendiri.
3.    Keterangan “off the record” atau keterangan bentuk lain yang mengandung arti sama diberikan atas perjanjian antara sumber berita dan wartawan bersangkutan dan tidak disiarkan.

Untuk menghindari salah faham, ketentuan “off the record” harus dinyatakan secara tegas oleh sumber berita kepada wartawan bersangkutan.

Ketentuan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi wartawan yang dapat membuktikan telah memperoleh bahan berita yang sama dari sumber lain tanpa dinyatakan sebagai “off the record”.
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.
PENAFSIRAN

BAB IV

KEKUATAN  KODE  ETIK  JURNALISTIK
Pasal 15

Kode Etik Jurnalistik dibuat oleh wartawan, dari dan untuk wartawan sebagai acuan moral dalam menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya.
Pasal 16
Wartawan menyadari sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
PENAFSIRAN

Pasal 16

Penaatan dan pengamalan kode etik jurnalistik bersumber dari hati nurani masing-masing wartawan.
Pasal 17
Wartawan mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun diluar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.


PENAFSIRAN

Pasal 17
1.     Kode Etik Jurnalistik ini merupakan pencerminan adanya kesadaran profesional. Hanya PWI yang berhak mengawasi pelaksanaannya dan atau    menyatakan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh  wartawan serta menjatuhkan sanksi atas wartawan bersangkutan.

2.    Pelanggaran kode etik jurnalistik tidak dapat dijadikan dasar pengajuan gugatan pidana maupun perdata.

Dalam hal pihak luar menyatakan keberatan terhadap penulisan atau penyiaran suatu berita, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada PWI melalui Dewan Kehormatan PWI. Setiap pengaduan akan ditangani oleh Dewan Kehormatan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal-pasal 22, 23, 24, 25, 26  dan 27 Peraturan Rumah Tangga PWI.
Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga dan Kode Etik Jurnalistik PWI sesuai dengan hasil Kongres XXII PWI di Banda Aceh 27-29 Juli 2008.

Balige, 1 juli 2013


0 komentar:

Posting Komentar