Hari ini kantor kami kedatangan banyak masyarakat (sekitar tigapuluhan orang), Maksud kedatangan mereka adalah mempertanyakan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Tunai). Kamipun dengan legowo melayani setiap pertanyaan mereka semaksimal mungkin (Nanti saya akan menjelaskan lebih lagi seputar BLSM dan mengapa masyarakat mendatangi kantor BPS).
Sebenarnya saya ingin bercerita tentang jurnalistik, hal ini
dikarenakan diakhir pembicaraan kami dengan masyarakat datang beberapa orang
yang mengaku “wartawan”. Yang menurut saya bukanlah seorang jurnalis yang
mengerti kode etik seorang jurnalis bahkan terlihat seperti seorang pereman.
Permasalahan yang tadinya telah selesai menjadi keruh dengan
kehadiran mereka. “Tidak sopan” itulah kata yang terpikir di kepala saya.
Betapa tidak dengan suara yang keras yang menurut saya lebih kepada berteriak
dan kesan seperti “nge-mop” berlagak membela masyarakat miskin, bahkan
lebih-lebih dari seorang LSM.
Sudah dijelaskan baik-baik tetapi terkesan memojokkan bahkan
menurut saya memprovokator. Yang paling tidak bisa saya terima adalah emosi
yang meledak-ledak, sambil marah-marah. Padahal setahu saya tugas seorang
jurnalis bukanlah seperti itu.
Bahkan saya sempat diteriakin oleh salah satu dari "wartawan" pada saat mengambil foto untuk dokumentasi, "saya adalah wartawan, ini koran saya" ujarnya dengan emosi sambil melempar koran di atas meja, saya lupa nama korannya karena memang baru pertama kali mendengarnya. Seharusnya saya menjawab so what kalau anda wartawan? jadi saya harus takut gitu? atau karena anda wartawan saya tidak boleh mengambil foto?
Tetapi yang ada saya sempat terbelongo, sangat merasa surprise ada wartawan sekasar itu. (ding dong...ya wajarlah namanya juga "wartawan-wartawanan" pikir saya dan sayapun hanya tersenyum). Waduhh...model yang kayak gini yang bisa merusak citra jurnalistik.
Bahkan saya sempat diteriakin oleh salah satu dari "wartawan" pada saat mengambil foto untuk dokumentasi, "saya adalah wartawan, ini koran saya" ujarnya dengan emosi sambil melempar koran di atas meja, saya lupa nama korannya karena memang baru pertama kali mendengarnya. Seharusnya saya menjawab so what kalau anda wartawan? jadi saya harus takut gitu? atau karena anda wartawan saya tidak boleh mengambil foto?
Tetapi yang ada saya sempat terbelongo, sangat merasa surprise ada wartawan sekasar itu. (ding dong...ya wajarlah namanya juga "wartawan-wartawanan" pikir saya dan sayapun hanya tersenyum). Waduhh...model yang kayak gini yang bisa merusak citra jurnalistik.
Sebelumnya saya ingin bercerita saya adalah alumni jurusan
ilmu komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Dulu semasa kuliah saya sangat
mengagumi profesi seorang jurnalistik walaupun akhirnya saya mengambil konsentrasi
di Public Relation.
Diawal mempelajari dunia media saya pernah mendengar istilah
“wartawan amplop” awalnya saya hanya tertawa ketika mendengarnya dan menganggap
sosok “wartawan amplop” itu hanya sebuah gurauan (Dikarenakan kekaguman saya
terhadap profesi jurnalistik)
Tetapi ketika saya menjalani Praktek Lapangan di sebuah perusahaan
tentunya di bagian PR (Public Relation), saya merasa surpraise ternyata sosok “wartawan
amplop” itu memang ada. Dan itulah awal kebencian saya kepada sosok “wartawan”
yang sering saya sebut “wartawan tak beradat” yang berhasil mencoreng citra
dunia jurnalistik.
Kebencian saya kepada sosok “wartawan tak beradat” ini
semakin bertambah ketika saya memasuki dunia kerja, tidak jarang saya menemui
orang yang mengaku wartawan tetapi bersikap tidak seperti seorang wartawan yang
memahami kode etik jurnalistik. Mereka lebih tepat seperti seorang preman yang
berlagak hebat dengan kartu persnya (pantes
saja mereka hanya berkiprah di media lokal dan koran yang tergolong “yellow newspaper”).
Pelajaran yang saya dapat sangat mudah membedakan wartawan
yang berasal dari media yang “benar-benar media “ dan wartawan yang berasal
dari “media abal-abal”. Kebanyakan wartawan yang berasal dari media abal-abal lebih
mirip seperti seorang preman.
Seorang jurnalis seharusnya berlaku layaknya seorang
jurnalis yang memiliki kode etik. Berikut Kode etik yang seharusnya dimiliki
seorang jurnalis dari Hasil Kongres XXII di Banda Aceh 27-29 Juli 2008
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
PENAFSIRAN
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Wartawan harus memiliki kepribadian
dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri, serta integritas dalam arti jujur,
adil, arif dan terpercaya.
Kepribadian dan integritas wartawan yang
ditetapkan di dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik mencerminkan tekad PWI mengembangkan
dan memantapkan sosok Wartawan sebagai profesional, penegak kebenaran,
nasionalis, konstitusional dan demokratis serta beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1
Wartawan beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila taat
Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen serta
terpercaya dalam mengemban profesinya.
PENAFSIRAN
Pasal 1
1. Semua perilaku,
ucapan dan karya jurnalistik wartawan harus senantiasa dilandasi, dijiwai,
digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta oleh nilai-nilai luhur Pancasila, dan mencerminkan ketaatan pada
Konstitusi Negara.
2. Ciri-ciri wartawan yang kesatria, adalah :
• Berani membela kebenaran dan keadilan;
• Berani mempertanggungjawabkan semua tindakannya, termasuk
karya jurnalistiknya;
• Bersikap demokratis
• Menghormati kebebasan orang lain dengan penuh santun dan
tenggang rasa;
• Dalam menegakkan kebenaran, senantiasa menjunjung tinggi
harkat-martabat manusia dengan menghormati orang lain, bersikap demokratis,
menunjukkan kesetiakawanan sosial.
3. Yang dimaksud dengan mengabdi kepada kepentingan bangsa
dan negara adalah, wartawan Indonesia sebagai makluk sosial yang bekerja bukan
untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan, melainkan untuk
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara;
4. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta
sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi
dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
5. Terpercaya adalah orang yang berbudi luhur, adil, arif dan
cermat, serta senantiasa mengupayakan karya terbaiknya.
Profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur :
• Himpunan pengetahuan dasar yang bersifat
khusus;
• Terampil dalam menerapkannya;
• Tata cara pengujian yang obyektif;
• Kode Etik serta lembaga pengawasan dan
pelaksanaan penaatannya.
Pasal 2
Wartawan dengan penuh rasa tanggung
jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya
jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang
dilindungi oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis
kelamin, orang cacat, sakit, miskin atau lemah.
PENAFSIRAN
Pasal 2
Wartawan wajib mempertimbangkan patut
tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolok
ukur :
Yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan atau
menyiarkan rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat
spekulatif.
Mengenai penyiaran berita yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,
serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan
yang dilindungi oleh undang-undang, wartawan perlu memperhatikan kesepakatan
selama ini menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dalam
masyarakat. Tegasnya, wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat
memicu pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan.
Pasal 3
Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak
menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar)
yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong, bersifat fitnah,
cabul, sadis, dan sensasional.
PENAFSIRAN
Pasal 3
1. Yang dimaksud tidak beriktikad
buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
2. Yang dimaksud dengan menyesatkan adalah berita yang
membingungkan, meresahkan, membohongi, membodohi atau melecehkan kemampuan
berpikir khalayak.
3. Yang dimaksud dengan memutarbalikkan fakta, adalah
mengaburkan atau mengacau-balaukan fakta tentang suatu peristiwa dan persoalan,
sehingga masyarakat tidak memperoleh gambaran yang lengkap, jelas, pasti dan
seutuhnya untuk dapat membuat kesimpulan dan atau menentukan sikap serta
langkah yang tepat.
4. Yang dimaksud dengan bersifat fitnah, adalah membuat kabar
atau tuduhan yang tidak berdasarkan fakta atau alasan yang dapat dipertanggung
jawabkan.
5. Yang dimaksud dengan Cabul, adalah melukai perasaan susila
dan berselera rendah.
6. Yang dimaksud dengan sadis, adalah kejam, kekerasan dan
mengerikan
7. Yang dimaksud dengan sensasi berlebihan,
adalah memberikan gambaran yang melebihi kenyataan sehingga bisa menyesatkan.
Pasal 4
Wartawan tidak menyalahgunakan
profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan
karya jurnalistik (tulisan, gambar, suar, suara dan gambar), yang dapat
menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.
PENAFSIRAN
Pasal 4
1. Yang dimaksud
dengan imbalan adalah pemberian dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas
kepada wartawan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita dalam bentuk
tulisan di media cetak, tayangan di layar televisi atau siaran di radio siaran.
Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.
2. Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media
massa harus disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.
BAB II
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Wartawan menyajikan berita secara
berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak
mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini,
disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Penyiaran karya
jurnalistik rekaulang dilengkapi dengan keterangan, data tentang
sumber rekayasa yang ditampilkan.
PENAFSIRAN
BAB II
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
1. Yang dimaksud berita
secara berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai
pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing
kasus secara proporsional.
2. Mengutamakan kecermatan dari kecepatan, artinya setiap
penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan
kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan.
3. Tidak mencampuradukkan fakta dan
opini, artinya seorang wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita
atau fakta.
Apabila suatu berita ditulis atau
disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebutkan
nama penulisnya.
Pasal 6
Wartawan menghormati dengan tidak
menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar)
kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum.
PENAFSIRAN
Pasal 6
Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan
atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama baik serta perasaan susila
seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat.
Pasal 7
Wartawan selalu menguji informasi,
menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta
menghormati asas praduga tak bersalah.
Wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran
informasi, dan menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang
berimbang serta.
PENAFSIRAN
Pasal 7
Seseorang tidak boleh disebut atau
dikesankan bersalah melakukan sesuatu tindak pidana atau pelanggaran hukum
lainnya sebelum ada putusan tetap pengadilan.
Prinsip adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu
pihak, tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik
bagi polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada
para saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.
Jujur, mengharuskan wartawan menyajikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak
dimanipulasi, tidak diputarbalikkan.
Berimbang, tidak bersifat sepihak, melainkan memberi kesempatan yang sama
kepada pihak yang berkepentingan.
Pasal 8
Wartawan tidak menyebutkan dan
menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak
yang menjadi pelaku kejahatan.
PENAFSIRAN
Pasal 8
Tidak menyebut nama dan identitas
korban, artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban
perbutan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau
tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan umur korban.
Kaidah-kaidah ini juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (di
bawah 16 tahun).
BAB III
SUMBER BERITA
Pasal 9
Wartawan menempuh cara yang profesional,
sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar,
suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber
berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigative.
PENAFSIRAN
BAB III
SUMBER BERITA
Pasal 9
1. Sopan, artinya wartawan
berpenampilan rapi dan bertutur kata yang baik. Juga, tidak menggiring, memaksa
secara kasar, menyudutkan, a priori, dan sebagainya, terhadap sumber berita.
2. Terhormat, artinya memperoleh bahan berita dengan cara-cara yang benar,
jujur dan ksatria.
3 Mencari dan mengumpulkan bahan berita secara terbuka dan
terang-terangan sehingga sumber berita memberi keterangan dengan kesadaran
bahwa dia turut bertanggung jawab atas berita tersebut.
(Contoh, tidak menyiarkan berita ‘hasil nguping’).
Menyatakan identitas pada dasarnya perlu untuk penulisan berita peristiwa
langsung (straight news), berita ringan (soft news), karangan khas (features),
dan berita pendalaman (in-depth reporting).
Untuk berita hasil penyelidikan/pengusutan (investigative reporting), pada saat
pengumpulan fakta dan data wartawan boleh tidak menyebut identitasnya. Tetapi,
pada saat mencari kepastian (konfirmasi) pada sumber yang berwenang, wartawan
perlu menyatakan diri sedang melakukan tugas kewartawanan kepada sumber berita.
Pasal 10
Wartawan dengan kesadaran sendiri
secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang tidak akurat dengan
disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional
kepada sumber atau obyek berita.
PENAFSIRAN
Pasal 10
Hak jawab diberikan pada kesempatan
pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan.
Pelurusan atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan
bersangkutan, dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.
Pasal 11
Wartawan harus menyebut sumber berita
dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti
kebenaran bahan berita .
PENAFSIRAN
Pasal 11
1. Sumber berita
merupakan penjamin kebenaran dan ketepatan bahan berita. Karena itu, wartawan
perlu memastikan kebenaran berita dengan cara mencari dukungan bukti-bukti kuat
(atau otentik) atau memastikan kebenaran dan ketepatannya pada sumber-sumber
terkait.
Upaya dan proses pemastian kebenaran dan ketepatan bahan berita adalah wujud
iktikad, sikap dan perilaku jujur dan adil setiap wartawan profesional.
2. Sumber berita dinilai memiliki kewenangan bila memenuhi
syarat-syarat:
Kesaksian langsung.
Ketokohan/Keterkenalan
Pengalaman.
Kedudukan/jabatan terkait.
Keahlian.
Pasal 12
Wartawan tidak melakukan tindakan
plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.
PENAFSIRAN
Pasal 12
Mengutip berita, tulisan atau gambar
hasil karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya merupakan tindakan plagiat,
tercela dan dilarang.
Pasal 13
Wartawan dalam menjalankan profesinya
memiliki hak tolak untuk melindungi identitas dan keberadaan narasumber yag
tidak ingin diketahui. Segala tanggung jawab akibat penerapan hak tolak
ada pada wartawan yang bersangkutan.
PENAFSIRAN
Pasal 13
1. Nama atau identitas
sumber berita perlu disebut, kecuali atas permintaan sumber berita itu untuk
tidak disebut nama atau identitasnya sepanjang menyangkut fakta lapangan (empiris)
dan data.
2. Wartawan mempunyai hak tolak, yaitu hak untuk tidak
mengungkapkan nama dan identitas sumber berita yang dilindunginya.
3. Terhadap sumber berita yang dilindungi nama dan
identitasnya hanya disebutkan “menurut sumber —-“ (tetapi tidak perlu
menggunakan kata-kata “menurut sumber yang layak dipercaya”). Dalam hal ini,
wartawan bersangkutan bertanggungjawab penuh atas pemuatan atau penyiaran
berita tersebut.
Pasal 14
Wartawan menghormati ketentuan embargo,
bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita
tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan “off
the record”.
PENAFSIRAN
Pasal 14
1. Embargo, yaitu
permintaan menunda penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan
oleh sumber berita, wajib dihormati.
2. Bahan latar
belakang adalah informasi yang tidak dapat disiarkan langsung dengan
menyebutkan identitas sumber berita, tetapi dapat digunakan sebagai bahan untuk
dikembangkan dengan penyelidikan lebih jauh oleh wartawan bersangkutan, atau
dijadikan dasar bagi suatu karangan atau ulasan yang merupakan tanggung jawab
wartawan bersangkutan sendiri.
3. Keterangan “off the
record” atau keterangan bentuk lain yang mengandung arti sama diberikan atas
perjanjian antara sumber berita dan wartawan bersangkutan dan tidak disiarkan.
Untuk menghindari salah faham, ketentuan “off the record” harus dinyatakan
secara tegas oleh sumber berita kepada wartawan bersangkutan.
Ketentuan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi wartawan yang dapat
membuktikan telah memperoleh bahan berita yang sama dari sumber lain tanpa
dinyatakan sebagai “off the record”.
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan harus dengan sungguh-sungguh
menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam
melaksanakan profesinya.
PENAFSIRAN
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Kode Etik Jurnalistik dibuat oleh
wartawan, dari dan untuk wartawan sebagai acuan moral dalam menjalankan tugas
kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya.
Pasal 16
Wartawan menyadari sepenuhnya bahwa
penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani
masing-masing.
PENAFSIRAN
Pasal 16
Penaatan dan pengamalan kode etik
jurnalistik bersumber dari hati nurani masing-masing wartawan.
Pasal 17
Wartawan mengakui bahwa pengawasan dan
penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya
hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh
Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun diluar PWI yang
dapat mengambil tindakan terhadap wartawan dan atau medianya berdasar
pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
PENAFSIRAN
Pasal 17
1. Kode Etik
Jurnalistik ini merupakan pencerminan adanya kesadaran profesional. Hanya PWI
yang berhak mengawasi pelaksanaannya dan atau menyatakan
adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh wartawan serta
menjatuhkan sanksi atas wartawan bersangkutan.
2. Pelanggaran kode etik jurnalistik tidak dapat dijadikan
dasar pengajuan gugatan pidana maupun perdata.
Dalam hal pihak luar menyatakan
keberatan terhadap penulisan atau penyiaran suatu berita, yang bersangkutan
dapat mengajukan keberatan kepada PWI melalui Dewan Kehormatan PWI. Setiap
pengaduan akan ditangani oleh Dewan Kehormatan sesuai dengan prosedur yang
diatur dalam pasal-pasal 22, 23, 24, 25, 26 dan 27 Peraturan Rumah Tangga
PWI.
Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga
dan Kode Etik Jurnalistik PWI sesuai dengan hasil Kongres XXII PWI di Banda
Aceh 27-29 Juli 2008.
Balige, 1 juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar